Sunday 13 February 2011

"Label" yang berbeda: Berkah atau masalah.

"Label" yang saya maksud di sini adalah kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa yang notabene merupakan hak masing-masing orang. Hak ini pun dilindungi oleh negara melalui UUD 1945 Pasal 28E ayat 2 yang berbunyi "Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan ..." Akan tetapi, pada prakteknya, masih banyak orang yang tidak mendapatkan hak ini.

Masalah jamaah Ahmadiyah yang diserang (lihat : Jamaah Ahmadiyah Diserang Warga Cikeusik) menunjukkan dengan jelas betapa kebebasan menyakini kepercayaan belum dihormati di Indonesia ini. Terlepas dari ajarannya Ahmadiyah (yang katanya) menyimpang dari ajaran suatu agama tertentu, kita sebagai sesama manusia tidak berhak untuk menghakimi kepercayaan manusia lainnya karena hakim yang sesungguhnya adalah Tuhan di atas sana. Akan tetapi, betapa menjamurnya manusia yang merasa kepercayaannyalah yang paling benar & yang paling parah adalah, dirinyalah yang paling benar dan berhak untuk berperan sebagai Tuhan. 

Sebenarnya, jika kita mau membuka hati, ketidakbebasan menyakini kepercayaan ini tidak hanya dialami jamaah Ahmadiyah. Mungkin kita atau saudara atau teman kita yang bukan jamaah Ahmadiyah pun mengalaminya. Bagaimana mungkin? Apakah Anda atau saudara atau teman Anda sedang menjalani hubungan beda agama di mana Anda atau saudara atau teman Anda itu sedang didesak untuk pindah agama oleh pasangannya? Jika iya, menurut saya Anda atau saudara atau teman Anda itu sedang dilanggar hak asasinya secara halus oleh pasangan.
Saya sebenarnya sudah lama memendam pertanyaan di hati saya: Mengapa masyarakat sulit sekali menerima pasangannya yang berbeda agama dengan dirinya? Mengapa masyarakat HARUS memaksa pasangannya memeluk agama yang sama dengan dirinya kalau mau memiliki dirinya? Kalau memang pasangan Anda belum memiliki agama, Anda bisa membantunya menemukan Tuhan. Tetapi, jika semisalnya pasangan Anda sudah menemukan Tuhan-nya, apa hak kita untuk memintanya memeluk agama kita? Pernahkah terpikir di benak Anda bahwa apakah Anda sendiri ingin dipaksa-paksa untuk pindah agama HANYA karena suatu hubungan percintaan? Sesuai dengan ajaran Konfusius: Jangan pernah melakukan sesuatu kepada orang lain yang mana Anda tidak ingin orang lain lakukan kepada Anda.


Ada salah seorang kenalan yang mengatakan bahwa pasangannya sangat mencintai dia dan bisa menerima apa adanya, tetapi pasangannya itu meminta dia memeluk agama yang sama.  Jika tidak, maka mereka terpaksa harus berpisah. Padahal, kenalan saya itu sudah memeluk agama & juga taat beribadah. Hal tersebut membuat saya berpikir berulang kali, menilik fakta & perasaan yang terlibat. Jika kenalan saya tersebut mengatakan bahwa pasangannya mencintai dia apa adanya, saya tidak setuju. Mengapa? Karena pasangannya itu meminta kenalan saya untuk pindah mengikuti agamanya. Itu berarti, pasangan kenalan saya itu tidak bisa menerima kenalan saya apa adanya. Bukankah kita memasuki suatu hubungan itu dengan satu paket? Anda menerima saya sebagai pasangan Anda berarti Anda juga harus menerima "label-label" yang melekat pada saya.
Ini bukan masalah ego dan bukan pula masalah emosi karena terjadinya perpindahan agama. Tetapi, menurut saya, perpindahan agama dengan dalih supaya bisa bersatu dalam suatu hubungan merupakan tanda pasangan kita tidak bisa menghormati kita. 

Saya masih bisa memahami jika memang Anda telah menikah dan menemukan konflik akibat perbedaan agama antara pasangan Anda. Akan tetapi, bagaimana jika posisi Anda dan pasangan masih dalam status pacaran? Cukup berhargakah Anda mengganti "label" iman Anda? Lain ceritanya yah kalau semisalnya Anda memang sreg & tanpa embel-embel apapun, memasuki suatu agama baru. 

Mengutip perkataan salah satu teman saya: "Yeah, love is kind of gambling, right? You must be brave to take risk in order to win."

Saya akan meninggalkan Anda dengan kutipan di atas tadi. Silakan direnungi & saya akan menulis lanjutan posting ini di kesempatan selanjutnya.

bersambung ...


Bahan pemikiran yang mungkin berguna: 



Disclaimer: Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyinggung agama tertentu & ditujukan hanya untuk menambah khazanah berpikir masyarakat Indonesia yang pluralistik sehingga masih harus banyak belajar menerima perbedaan yang ada.  




thanks to:
essence.com & nativebluespirit.de for the pictures.

No comments:

Post a Comment